Sabtu, 10 November 2012

PUISI KITA


KUINGAT SLALU PESANMU PAHLAWANKU         SamidOtnayirs

Gerimis renyai bulan Mei menggurat duka
Luka dalam yang terpendam tiga puluh dua warsa
                           Terkoyak kini lebar menganga
Merintih perih Indonesia
Menangis pilu Pertiwi menahan perih luka di tubuhnya

Di atas pelangi ungu tanpa tujuh warna
Sukarno, Sang Putra Fajar Kembali mengacungkan telunjuk jarinya
Seraya berkata:

Mengapa  kalian nodai janji suci yang dulu diikrar bersama?
Bukankah dahulu kita, Semua turut merajut, menyulam kata ’Bersatu’ dengan benang sutra?
Bukankah dahulu kita Semua turut memancang tiang
mengibarkan “Merah Putih” di dada?
Bukankah dahulu kita Semua turut menulis dan mengeja kata ’Merdeka’
pada buku sejarah bangsa?
Bukankah dahulu kita Semua turut menancapkan tombak  pembatas
antara Sabang - Merauke
mengukir peta Indonesia pada atlas dunia?

Semuanya selalu,  selalu  bersama
dan seia sekata

Bercerai berai kalian kini, mengapa?
Turun ke jalanan saling mengumpat sesama
Cakar - mencakar berebut gelar sbagai orang paling berjasa
Mengincar tahta  berlagak ksatria

Ingatlah , Saudaraku !
Berstu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh

Tegak  berdirilah di atas punggung Garuda
Kembangkanlah sayapnya meninggi
Kabarkanlah kepada Dunia
Kita Satu, Indonesia

Usai berkata Sukarno Sang Putra Fajar melambaikan tangannya
Senyum manis tersungging mengiring kepergiannya
Di atas pelangi ungu tanpa tujuh warna

Nyata benar Sukarno Putra Sang Fajar
Kehadirannya laksana cahaya penerang dalam  gulita
Ia seperti air penyejuk di kala dahaga
Ia bagai kompas penunjuk jalan nuju bahagia
Ia pemberi roh dan jiwa perjuangan hidup , nyata

Sejenak, setelah kepergiannya
Semua yang turun di jalanan
Semua yang saling mengumpat
Semua yang saling mencakar berebut gelar paling berjasa
Semua yang mengincar  tahta berlagak ksatria
Terbius  diam

Kebisuan merasuki dada mereka
Dua-tiga menit penyesalan dan rasa bersalah menggunung
Menusuk-nusuk kesadaran dalam jiwa
Seuntai janji kembali terucap bersama:
’Aku, Indonesia bersatu’.

Kuingat Slalu Pesanmu Pahlawanku.



                                                                                    Sukoharjo, November 2008

 

PADAMU KUBERJANJI             Samid Otnayirs

Bukan hanya ketika Indonesia Raya dikumandangkan,
Bukan hanya ketika Hening Cipta dipanjatkan
Dalam setiap langkah kaki
Dalam setiap alir darahku selalu
Kuingat dirimu pahlawan besar
Jenderal Sudirman

Desah nafasmu yang kadang tersengal
Samar-samar masih terngiang

Paru-parumu yang tinggal sebelah
Tak pernah surutkan langkah
Dengan gagah kau tetap maju melangkah

Kau pimpinn pasukan bergerilya
Hutan, sungai dan rawa-rawa kau jinakkan
Bukit terjal, jurang curam bukanlah rintangan

Deru mesiu, desing peluru
Tiada pernah surutkan nyalimu
Kau tetap maju menggempur musuhmu
Antara Ambarawa, Yogyakarta,
Priangan sampai Pacitan
Demi satu cita ”Merdeka”
Sampai akhirnya kau buahkan kemerdekaan itu
Sampai akhirnya kau pertahankan kemerdekaan itu

Jenderal Sudirman, Pahlawan budiman
Maafkan generasi mudamu kini, yang kadang
dengan lantang bertanya, ”Apa artinya merdeka?”
yang kadang dengan congkak berkata, ”Kita belum merdeka”

Suatu hari nanti ia kan merasa bahwa
Tinta emas yang engkau torehkan di setiap lembar sejarah,
Kemerdekaan yang engkau buahkan
Adalah rahmat karunia tiada tara

Padamu kuberjanji
Atur barisan di pagi hari
Kembangkan sayap garudamu meninggi
Kabarkan ke seluruh belahan bumi
Indonesia tetap satu
Sekali merdeka tetap merdeka

Kamis, 19 Juli 2012

NUANSA MAKNA DALAM SYAIR LAGU


UNTUK KITA RENUNGKAN (Karya Ebiet G.Ade)

Kita mesti telanjang dan benar-benar besih
Suci lahir dan di dalam batin
Tengoklah ke dalam sebelum bicara
Singkirkan debu yang masih melekat
Ho..ho..ho
Singkirkan debu yang masih melekat 

Anugerah dan bencana adalah kehendak-Nya
Kita mesti tabah menjalani
Hanya cambuk kecil agar kita sadar
Adalah Dia di atas segalanya
Ho..ho..ho
Adalah Dia di atas segalanya

Anak-anak menjerit-jerit, asap panas membakar 
Lahar dan badai menyapu bersih

Ini bukan hukuman hanya satu isyarat
Bahwa kita mesti banyak berbenah

Memang bila kita kaji lebih jauh
dalam kekalutan masih banyak tangan yang tega berbuat nista
ho..ho..hoo..

Tuhan pasti telah memperhitungkan
Amal dan dosa yang kita perbuat

Ke manakah lagi kita kan sembunyi
Hanya kepada-Nya kita kembali
Tak ada yang bakal bisa menjawab
Mari hanya runduk sujud pada-Nya


Kita mesti berjuang memerangi diri
Bercermin dan banyaklah bercermin
Tuhan ada di sini di dalam jiwa ini
Berusahalah agar Dia tersenyum
Ho...ho..ho..
Berusahalah agar Dia tersenyum


Catatan apresiasi makna/isi lagu:
Lewat puisi lagu ini penyair/pengarang mengajak kepada kita untuk selalu berbenah diri menuju ke kesucian diri, baik suci lahir dan batin, menghindarkan diri dari kesalahan walau sekecil apapun sebelum kita berbicara menilai orang lain.
Lewat lagu ini pengarang mengingatkan kepada kita bahwa anugerah dan bencana adalah kehendak Allah , Tuhan yang Maha Kuasa. Kita jangan sombong, dan takabur jika mendapat anugerah. Namun, kita juga  harus tabah menjalani dengan ikhlas manakala mendapatkan ujian bencana. Bencana tersebut sebenarnya hanyalah merupakan cambuk kecil, peringatan bagi kita , agar kita sadar bahwa masih ada Dia, Tuhan yang mengawasi semua tindak-tanduk kita.
Fenomena yang melatarbelakangi terciptanya lagu ini adalah peristiwa meletusnya Gunung Galunggung di Tasik Malaya, Jawa Barat. Lagu ini sekaligus sebagai sindiran kepada oknum-oknum yang masih begitu tega berbuat nista di tengah kekalutan bencana , bertindak korup, mengorupsi dana bantuan yang mestinya disampaikan kepada masyarakat kecil korban bencana tersebut. 
Tapi Tuhan memang maha Adil, Ia telah memperhitungkan amal dan dosa yang kita perbuat. Amal baik meski sekecil buah Zarah (sak glugut pinara sasra (Jawa)) akan mendapat balasan kebaikan, dan dosa sekecil apapun akan mendapat siksa.Dan hanya kepada-Nya tempat kita kembali nanti. Untuk itu,  pegarang mengajak kepada kia untuk selalu merunduk dan sujud kepada-Nya.
Kita harus mampu memerangi nafsu diri, karena musuh terbesar kita adalah nafsu pada diri kita. Kita harus banyak bercermin, dan belajar dari kesalahan -kesalahan masa silam, dan bercermin pada kalammullah Al Qur'an) menuju kepada kesempurnaan kita sebagai umat, yaitu umat yang iman, taqwa, shaleh, yang bersedia runduk,  sujud,dan patuh kepada-Nya, sehingga kita dapat memperoleh keridho-an Allah SWT. Semoga...!

Kamis, 15 Desember 2011

KESAKSIAN ( Kantata Takwa: SawungJabo,Iwan Fals dan WS Rendra )


Aku mendengar suara
Jerit mahluk terluka
Luka,luka hidupnya....luka
Orang memanah rembulan
Burung sirna sarangnya
Sirna,sirna...hidup redup
Alam semesta...luka

Banyak orang hilang nafkahnya
Aku bernyanyi menjadi saksi
Banyak orang dirampas haknya
Aku bernyanyi menjadi saksi

Mereka dihinakan,tanpa daya
Yaaa...tanpa daya! terbiasa hidup sangsi

Orang-orang harus dibangunkan
Kenyataan harus dikabarkan
Aku bernyanyi menjadi saksi

Lagu ini jeritan jiwa
Hidup bersama harus dijaga
Lagu ini harapan sukma
Hidup yang layak harus dibela

Orang-orang harus dibangunkan
Aku bernyanyi menjadi saksi
Kenyataan harus dikabarkan
Aku bernyanyi menjadi saksi



(Laguini tercipta sekitar tahun 90-an,  terinspirasi puisi WS Rendra "Potret Pembangunan dalam Puisi)
Saat menyaksikan konser Kanata Takwa padawaktu itu, aku merasa kasihan kepada Rendra,penyair besar, namun tak mendapat perhatian sama sekali dari penonton. Hal itu disebabkan oleh rendahnya pengetahuan dan apresiasi penonton terhadap binatang yang bernama "Puisi". Mereka hanya tertarik pada musik yang hingar bingar yang barangkali juga tidak mereka pahami.

PANGGUNG SANDIWARA KEHIDUPAN

Hidup memang panggung Sandiwara,
Mudah berubah Ceritera ,
Tragedi,komedi atau Romansa.
Smua cipta Sang Sutradara.

Aktor sempurna adalah,
Kita yang dapat memerankan lakon sebaik-baiknya,
Selaras naskah Ciptakarya Sang Sutradara.

Saat kisah tragedi yang harus kita lakoni,
Terimalah dengan lapang hati,
Perankan dengan  penjiwaan penuh ekspresi,  
Jiwa tulus suci atasnama Illahi Rabbi.

Bukan kemustahilan belaka ,
Esok lusa, lusa dan lusa,  
Sutradara beri kita peran Suka- cita,
Tokoh bahagia dalam Romansa.  

Itulah Sandiwara hidup yang harus kita perankan,
Sesuai kehendak-Nya.
 Khonaah, tapi tak pernah menyerah.
Tawakal, tetap berikhtiar, dan tak lupa bersabar.
Jauh watak Jumawa dan euforia,  
Jiwa tulus, khonaah,
 berbalut niat suci IBADAH. 

Minggu, 18 September 2011

PUISI ADALAH JENDELA HATI

Puisi termasuk salah satu bentuk sastra. Kehadiran sebuah puisi merupakan pernyataan seorang penyair. Pernyataan itu berisi pengalaman batinnya sebagai hasil proses kreatif terhadap objek seni. Objek seni ini berupa masalah-masalah kehidupan dan alam sekitar, ataupun segala kerahasiaan (misteri) di balik alam realitas, dunia metafisik. Segala bahan puisi yang ditimba penyair dari objek seni dibangunnya menjadi bangunan puisi yang utuh lewat proses kreatif. Lalu apa puisi itu? Puisi merupakan ekspresi pengalaman batin (jiwa) penyair mengenai kehidupan manusia, alam, dan Tuhan melalui media bahasa yang estetik yang secara padu dan utuh dipadatkan kata-katanya, dalam bentuk teks yang dinamakan puisi.
Lalu, benarkah pertanyaan bahwa ”Puisi merupakan jendela hati penyairnya”?
Sehubungan dengan proses terciptanya puisi sebagaimana diuraikan di atas, pernyataan tersebut  benar adanya. Lewat puisi kita dapat mengintip, melihat, atau bahkan mengenal lebih jauh apa, siapa , dan bagaimana penyairnya.  Mengenal apa, berarti memahami apa yang diungkapkan penyair lewat puisinya. Mengenal Siapa, berarti mengenali siapa penyairnya, kehidupannya, dan latar belakangnya. Dan mengenal bagaimana, maksudnya adalah mengenali bagaimana sikap pendirian, dan  bagaimana respon dan tindakan penyair menghadapi suatu permasalahan hidup sebagaimana  yang dituangkan dalam puisinya.
Hal ini didasarkan bahawa masalah kehidupan yang disuguhkan penyair dalam puisinya tentu saja bukan sekedar refleksi realitas (penafsiran kehidupan, rasa simpati kepada kemanusiaan, renungan mengenai penderitaan manusia dan alam sekitar) melainkan juga cenderung mengekspresikan hasil renungan penyair tentang dunia metafisik, gagasan-gagasan baru ataupun sesuatu yang belum terbayangkan dan terpikirkan oleh pembaca, sehingga puisi sering dianggap mengandung suatu misteri.
Di balik kata-katanya yang ekonomis, padat dan padu tersebut, puisi berisi potret kehidupan manusia, termasuk juga penyairnya. Puisi menyuguhkan persoalan-persoalan kehidupan manusia dan juga manusia dalam hubungannya dengan alam dan Tuhan, sang Pencipta.

PUISI MERUPAKAN KARYA MULTI INTERPERTABLE (BANYAK TAFSIR)

Puisi adalah karangan padat. Artinya, ia dibentuk oleh kata-kata yang benar-benar terpilih, terseleksi, atau melalui sensor yang ketat. Puisi itu menyatakan sesuatu secara tak langsung, yaitu mengatakan suatu hal dengan arti yang lain.
Ketaklangsungan ini disebabkan oleh tiga hal: displacing (penggantian arti), distorting (penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti). Sebagai contoh penggantian arti terwujud pada metafora dan metonimi, penyimpangan arti terjadi pada ambiguitas, kontradiksi dan nonsense, dan penciptaan arti terjadi pada pengorganisasian ruang teks, seperti persejajaran tempat (homologues), enjambnement, dan tipografi.
Ketaklangsungan teknik pengungkapan ini menyebabkan puisi menjadi  dunia kata-kata yang eksklusif  karena karakternya berbeda jika  dibandingkan dengan karakter kata dalam tulisan-tulisan yang lain. Padahal, kebanyakan dari kita menghabiskan waktu dalam kehidupan sehari-hari yang menuntut nilai komunikasi yang sifatnya (sangat) praktis, jelas, lugas, dan langsung. Hal inilah yang menyebabkan pembaca sering mengalami kesulitan ketika dia berhadapan dengan puisi. Fenomena kesulitan memahami puisi inilah yang  menyebabkan terjadinya banyak penafsiran makna puisi.
Sastrawan senior kita, Sapardi Djokodamono mengimbau penyair lainnya agar dengan ”Legawa” menyerahkan sepenuhnya puisi, karyanya kepada masyarakat luas untuk ”diapakan saja”. Mau ditafsirkan bagaimana, diapresiasi bagaimana, dan seterusnya.

Perhatikan puisi Sapardi berikut ini:
                      Kepada Sebuah Sajak 
                     (Karya Sapardi Djokodamono)

Dengan rendah hati kuserahkan kau ke dunia
sebab bukan lagi milikku. Tegaklah
bagai seorang lelaki yang lahir dalam zaman
yang riuh rendah
dan memberontak
kulepas kau ke tengah pusaran topan
dari masalah manusia, sebab telah dilahirkan
tanpa ayah dan ibu
dari jemariku yang papa
kaupun menjelma secara gaib wahai nurani alam
aku bukan asal-usulmu. Kutolakkan kepada dunia
nama baik serta nasibmu
aku tak lagi berurusan denganmu
sekali kau lahir lewat tangan-tanganku. Tegaklah
seperti lelaki yang tanpa ibu bapa
mempertahankan nasibnya sendiri
terhadap gergaji waktu

Puisi tersebut akan terasa lebih mudah ditangkap maknanya jika Anda menelusurinya lewat judul. Sang penyair ingin mengabari kepada kita tentang tentang sebuah puisi pasca ditulis oleh penyairnya. Penyair merasa tidak berhak lagi terhadap puisinya setelah puisi tersebut berada di tangan masyarakat.Masyarakatlah yang berhak berbuat apapun terhadap puisi itu, terutama dalam hal memberi makna. Puisi tersebut menjadi milik pembaca, mau diapakan saja boleh. Mau dimaknai apapun silakan, mau ditafsirkan sekehendak hatinya tidak salah, asal mempunyai dasar pijakan. Itulah makna puisi “Kepada Sebuah Sajak”
Dari penafsiran seperti itu kiranya dapat dirumuskan temanya, yaitu tidak seorang pun boleh merasa paling tepat memberi makna terhadap puisi (tak terkecuali penyairnya).
Amanat atau pesan yang dapat ditangkap adalah puisi hendaknya dianggap sebagai sebuah karya netral yang bebas diberi makna apa pun oleh pembacanya. Sudah barang tentu, kata bebas di sini berarti bebas dengan dasar yang tegas dan jelas.

BUTUHKAN SIKAP LEGAWA

Sejalan dengan himbauan maestro sastra kita, Sapardi Djokodamono di atas, pengarang (penyair) harus memiliki sifat yang rela (legawa ) jika puisinya diapresiasi (ditafsirkan) berbeda dengan apa yang diinginkannya. Jika penyair tidak memiliki sifat yang legawa ini, sebaiknya tidak menulis karya dalam bentuk puisi yang bahasanya padat, konotatif, figuratif.  Mungkin akan lebih baik menulis karya dalam bentuk prosa atau lainnya.
Sikap legawa ini memang membutuhkan proses. Pada awalnya, wajar jika kita marah, kebakaran jenggot, atau bahkan sumpah serapah ketika dinilai buruk oleh orang lain, pascapembacaan puisi kita. Namun, seiring dengan keluasan cakrawala pandang kita tentang dunia puisi (yang memang eksklusif ini), sikap legawa tersebut akan tumbuh dengan sendirinya.
Pengalaman menarik yang pernah penulis hadapi, yaitu ketika  berhadapan dengan peserta didik yang sebenarnya justru menaruh perhatian besar pada dunia puisi. Peserta didik tersebut bertanya kepada ibunya, yang nota bene juga seorang guru Bahasa Indonesia.
” Bu, apakah Pak Dhimas itu bukan orang baik-baik?”
”Hus, kamu kok gitu terhadap Pak guru. Mengapa kamu tanya begitu?” tanya ibunya.
” Itu lho, Bu di dalam puisinya itu tersirat bahwa Pak Dhimas itu orangnya  arogan, brutal, urakan, play boy, pezina.”  Coba baca puisi Pak Dhimas ini!

IZINKAN AKU KEMBALI           (Dhimas, 2000)
Dengan apa lagi kubakar tumpukan dosa
Mengerak menyesak dada, bila
Wirid yang kuuntai siang malam
Tiada mampu hanguskan noda
Tuk Kau trima menghadap-Mu

Dengan apa lagi harus kutebus
Kilaf nafsu jalangku, bila
Tobat yang kuikrar di setiap kubah-Mu
Tiada mampu redampadamkan nafsu zakar
Tuk tunduk luruh penuh patuh di kaki-Mu

Wahai Dzat Yang Maha Mulia, Azza wa Jalla
Jangan Kau hinakan aku lagi
Kau depak ke lorong jahanam-Mu
Yang peneuh nanah busuk
Dan api membara

Gusti Maha suci, izinkzn aku kembali
Menapaki jalan lurus-Mu
Sambil kurajut lagi cinta kasih-Mu
Yang kini koyak moyak
Hilang bentuk

Gusti ...ramadhan ini, izinkan aku kembali
Bangun seribu kubah di hati
Bersihkan jiwa, haluskan kalbu
Raih mutaqin sejati
Tuk jadi pewaris Firdaus-Mu

Setelah ibunya turut mengeja kata demi kata, puisi di atas, akhirnya ia berkata,
“ Oh…, ini to. Ini kan puisi”
“Tapi isinya kok begitu, Bu?”
“ Sepanjang yang saya tahu, setiap kata-katanya romantis, terkesan seorang perayu,  dia juga humoris, tetapi dia juga religious tuh”, jawab ibunya.
“Terus bagaimana saya menafsirkan isi puisi ini…?”
“Ya…, itulah puisi. Penuh misteri”, jawab ibunya.  “Tetapi Rasulullah pernah bersabda bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang segera bertobat ketika bersalah. Sebaik-baik orang adalah orang yang mampu melihat kesalahan dirinya sendiri. Dan Bulan Ramadhan memang  bulan penuh berkah, Rahmah, dan Magfirah. Di bulan Ramadhan itu, Orang shaleh biasanya begitu dekatnya dengan Tuhan, sehingga sering kali  kesalahan yang kecil sekali pun terasa amat besar, dan berat.

Bagaimana tanggapan dan apresiasi Anda ?
Sependapatkah engkau dengan peserta didik di atas? Untuk itu, baca, pahami, dan renungkan puisi tersebut. Selanjutnya, berilah tanggapan dan apresiasi atas puisi Izinkan Aku Kembali tersebut!
Bebas, sebebas-bebasnya, bukan bebas bersyarat. OK ...? Terima kasih....

Kamis, 25 Agustus 2011

MATERI PEMBELAJARAN TEORI ANALISIS PUISI


Salah satu Kompetensi  Dasar yang harus diasah dan dikuasai peseta didik pada mata pelajaran Sastra Indonesia kelas XI Program Bahasa adalah (KD 5.3)  Mengalisis puisi berdasarkan  komponen   bentuk puisi (bait, larik, rima, irama) dan isi (pengindraan, pikiran, perasaan, imajinasi).

Kompetensi Dasar ini ditunjang dengan materi pembelajaran, Ciri formal puisi, bentuk puisi, diksi, irama ditata (puisi   bebas) atau dipolakan   (puisi terikat), rima ditata (puisi bebas)atau dipolakan dipolakan (puisi terikat),  dan Isi puisi, Jenis-jenis puisi:    (mantra, pantun,Syair, gurindam soneta,     balada)

Keberhasilan peserta didik dalam mencapai Kompetensi Dasar ini ditandai dengan indikator  sebagai berikut:

1.   Mengidentifikasi komponen puisi yang terdapat dalam puisi Indonesia

2.   Menentukan ciri formal puisi
3.   Menentukan isi puisi

MATERI PEMBELAJARAN
A.    Hakikat (pengertian) Puisi
Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang berarti pembangun, pembentuk, pembuat. Dalam bahasa Latin dari kata poeta, yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Dalam perkembangan selanjutnya, makna kata tersebut menyempit menjadi hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan (Sitomorang, 1980:10).
Menurut Vicil C. Coulter, kata poet berasal dari kata bahasa Gerik yang berarti membuat, mencipta. Dalam bahasa Gerik, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir menyerupai dewa-dewa atau orang yang amat suka pada dewa-dewa. Dia adalah orang yang mempunyai penglihatan yang tajam, orang suci, yang sekaligus seorang filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi (Situmorang, (1980:10).
Puisi merupakan ekspresi pengalaman batin (jiwa) penyair mengenai kehidupan manusia, alam, dan Tuhan melalui media bahasa yang estetik yang secara padu dan utuh dipadatkan kata-katanya, dalam bentuk teks yang dinamakan puisi. Masalah kehidupan yang disuguhkan penyair dalam puisinya tentu saja akan sekedar refleksi realitas (penafsiran kehidupan, rasa simpati kepada kemanusiaan, renungan mengenai penderitaan manusia dan alam sekitar) melainkan juga cenderung mengekspresikan hasil renungan penyair tentang dunia metafisik, gagasan-gagasan baru ataupun sesuatu yang belum terbayangkan dan terpikirkan oleh pembaca, sehingga puisi sering dianggap mengandung suatu misteri.
Di balik kata-katanya yang ekonomis, padat dan padu tersebut, puisi berisi potret kehidupan manusia. Puisi menyuguhkan persoalan-persoalan kehidupan manusia dan juga manusia dalam hubungannya dengan alam dan Tuhan, sang Pencipta.
Puisi dapat pula diartikan sebagai ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait (Kamus Istilah Sastra, Sudjiman, 1984)
B.     Ciri Formal Puisi
Setiap genre karya satra, baik puisi, prosa, atau pun drama memiliki cirri khusus masing-masing yang merupaka pembeda antara genre yang satu dengan lainnya. Berdasarkan hakikat/pengertian puisi di atas dapat disimpulkan beberapa cirri formal karya puisi, antara lain:
1.      Menggunakan bahasa yang padat
2.      Memperhatikan diksi
3.      Imajinatif, figuratif
4.      Ber- rima
5.      Berirama
6.      Memperhatikan tipografi

C.    Unsur-unsur Pembentuk Puisi
Unsur puisi merupakan segala elemen (bahan) yang dipergunakan penyair dalam membangun atau menciptakan puisinya. Segala bahan, baik unsur luar (objek seni) maupun unsur dalam (imajinasi, intuitif, emosi, bahasa, dll.) disintetikkan menjadi satu kesatuan yang utuh oleh penyair menjadi bentuk puisi berupa teks puisi.
Adapun unsur-unsur yang membangun puisi adalah: tema (sense), amanat, diksi, musikalitas, rima, gaya bahasa, citraan, dan tipografi.
Berikut adalah definisi beberapa unsur-unsur pembentuk puisi menurut para ahli:
1.      Tema atau Sense
Tema atau sense adalah pokok persoalan (subyek matter) yang dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya. Pokok persoalan dikemukakan oleh pengarang baik secara langsung maupun secara tidak langsung (pembaca harus menebak atau mencari-cari, menafsirkan). (I.A. Richard)

2.      Amanat
Amanat (tujuan, maksud, intention) adalah tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya. (Richards, Siswanto dan Roekhan (1991:55-65).
Amanat adalah tujuan penyair dalam menciptakan puisi tersebut. Walaupun kadang-kadang tujuan tersebut tidak disadari, semua orang pasti mempunyai tujuan dalam karyanya. Tujuan atau amanat ini bergantung pada pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, dan keyakinan yang dianut penyair. (I.A. Richard)

3.      Diksi
Diksi adalah pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik).
Diksi adalah pilihan atau pemilihan kata yang biasanya diusahakan oleh penyair dengan secermat mungkin. Penyair mencoba menyeleksi kata-kata baik kata yang bermakna denotatif maupun konotatif sehingga kata-kata yanag dipakainya benar-benar mendukung maksud puisinya. (I.A. Richard)

4.      Tipografi
Perwajahan puisi atau tipografi adalah bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi. (Richards, Siswanto dan Roekhan (1991:55-65).

5.      Musikalitas
Menurut I.A. Richard, rima adalah persamaam bunyi dalam puisi. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang mampu menciptakan suasana kegembiraan serta kesenangan. Bunyi semacam ini disebut euphony. Sebaliknya, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, yang membawa suasana kesedihan. Bunyi semacam ini disebut cacophony.
Berdasarkan jenisnya, persajakan dibedakan menjadi:
a.       Rima sempurna, yaitu persama bunyi pada suku-suku kata terakhir.
b.      Rima tak sempurna, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir.
c.       Rima mutlak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih secara mutlak (suku kata sebunyi)
d.      Rima terbuka, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku akhir terbuka atau dengan vokal sama.
e.       Rima tertutup, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan).
f.       Rima aliterasi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang berlainan.
g.      Rima asonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata.
h.      Rima disonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapaat pada huruf-huruf mati/konsonan.
Berdasarkan letaknya, rima dibedakan
a.       Rima awal, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada awal baris pada tiap bait puisi.
b.      Rima tengah, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris pada bait puisi
c.       Rima akhir, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap bait puisi.
d.      Rima tegak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bait-bait puisi yang dilihat secara vertikal
e.       Rima datar, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada baris puisi secara horisontal
f.       Rima sejajar, yaitu persamaan bunyi yang berbentuk sebuah kata yang dipakai berulang-ulang pada larik puisi yang mengandung kesejajaran maksud.
g.      Rima berpeluk, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dan larik keempat, larik kedua dengan lalrik ketiga (ab-ba)
h.      Rima bersilang, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dengan larik ketiga dan larik kedua dengan larik keempat (ab-ab).
i.        Rima rangkai/rima rata, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik (aaaa)
j.        Rima kembar/berpasangan, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir dua larik puisi (aa-bb)
k.      Rima patah, yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak menentu pada akhir larik-larik puisi (a-b-c-d)
Catatan:
Rima pada puisi lama pada umumnya telah dipolakan secara tetap, misalnya  pantun terdiri dari empat baris seuntai dengan pola rima /a-b-a-b/, sedangkan  syair adalah terdiri dari empat baris seuntai dengan pola rima /a-a-a-a/, dan  gurindam terdiri dari dua baris seuntai dengan pola rima /a-a/.
Rima pada puisi bebas (modern) pada umumnya berupa rima bebas, yaitu rima yang ditata secara bebas oleh penyairnya.

6.      Gaya Bahasa
Menurut I.A. Richard, gaya bahasa adalah cara yang dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imaji dengan menggunakan gaya bahasa, perbandingan, kiasan, pelambangan dan sebagainya. Jenis-jenis gaya bahasa antara lain:
a.       Perbandingan (simile), yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, umpama, laksana, dll.
b.      Metafora, yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain tanpa mempergunakan kata-kata pembanding.
c.       Perumpamaan epos (epic simile), yaitu perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya dalam kalimat berturut-turut.
d.      Personifikasi, ialah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia di mana benda mati dapat berbuat dan berpikir seperti manusia.
e.       Metonimia, yaitu kiasan pengganti nama.
f.       Sinekdoke, yaitu bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting untuk benda itu sendiri.
g.      Allegori, ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan, merupakan metafora yang dilanjutkan.

7.      Citraan
Menurut I.A. Richard, citraan adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Maka penyair menggunakan segenap kemampuan imajinasinya, kemampuan melihat dan merasakannya dalam membuat puisi.
Ada beberapa macam citraan, antara lain
a.       Citraan penglihatan, yaitu citraan yang timbul oleh penglihatan atau berhubungan dengan indra penglihatan.
b.      Citraan pendengaran, yaitu citraan yang timbul oleh pendengaran atau berhubungan dengan indra pendengaran.
c.       Citraan penciuman dan pencecapan, yaitu citraan yang timbul oleh penciuman dan pencecapan.
d.      Citraan intelektual, yaitu citraan yang timbul oleh asosiasi intelektual/pemikiran.
e.       Citraan gerak, yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yanag sebetulnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak.
f.       Citraan lingkungan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran selingkungan.
g.      Citraan kesedihan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran kesedihan.

D.    Isi Puisi
Isi Puisi dapat dikatakan pula makna puisi. Makna dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti maksud penulis atau pengertian yang diberikan pada sesuatu bentuk kebahasaan (2002 : 703). Untuk dapat menyimak pesan-pesan penyair di dalam puisinya pembaca harus dapat menangkap dan memahami makna lugas dan makna utuh puisi yang dibacanya.
Makna lugas merupakan makna yang sebenarnya dari kata-kata yang tersurat (eksplisit) dalam puisi. Sedangkan makna utuh adalah makna keseluruhan (yang tersirat maupun tersurat) dari puisi.
Penafsiran makna sebuah puisi, hendaknya  memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
a.          Baris-baris puisi merupakan satu kesatuan yang benar-benar utuh, berhubungan makna antara kalimat satu dengan yang lainnya, maka penafsiran makna tidak dapat dilakukan satu persatu (kata per kata, kalimat per kalimat).
Alangkah lucunya jika kita memaknai secara lepas kata kalimat berikut secara lepas, “Kita mesti telanjang” (dalam lagu Untuk Kita Renungkan, Ebit G.Ade).
b.         Tidaklah mungkin memahami makna puisi hanya dengan mengandalkan kamus, tetapi harus dikaji lebih mendalam makna yang tersirat di dalam suatu kata atau kalimat.
c.          Upayakan memahami makna baris puisi dengan mengaitkan bait-bait syair tersebut dengan situasi yang ada di luar lagu. Misalnya tahun terciptanya, situasi, dan moment peristiwa yang melatarbelakangi terciptanya lagu (puisi) tersebut.
d.         Lebih utamakan memahami makna baris puisi daripada hanya memahami arti leksikalnya. Jadi, bertanyalah “apa maksud / isi kalimat ini?’ bukan “apa arti kalimat ini?”
E.     Jenis Jenis Puisi
Pengklasifikasian jenis puisi dapat dilakukan berdasarkan bentuk  dan  sifat isinya. Pengklasifikasian jenis puisi tersebut tak lepas pula dengan periodisasi sastra Indonesia, yang oleh HB Jassin diklasifikasi mejadi  sastra Indonesia (Melayu) lama, sastra  Indonesia Modern. Oleh karena itu, pengklasifikasian puisi dapat dibedakan menjadi puisi lama, puisi baru dan modern.
Puisi Indonesia (Melayu) lama sesuai bentuknya terdiri dari beberapa jenis, antara lain : Mantra, Bidal, Gurindam, Syair , Pantun, Talibun, Seloka dan lain-lain.
Puisi Baru sesuai dengan bentuknya diklasifikasi menjadi beberapa jenis, antara lain: Destikhon, Tersina, Kuartrain, Kuin, Sektet, Septim, Oktaf dan Soneta.
Puisi Modern yang lebih dikenal puisi bebas karena mengutamakan kebebasan berekspresi diklasifikasikan menurut sifat isinya, antara lain: Balada, Romance, Himne, Ode, Elegi , dan Satire dan puisi Kontemporer.
1.         Balada
Balada adalah puisi bebas yang berisi kisah (cerita) kejadian tertentu. Oleh karena berisi kisah kejadian, maka di dalam puisi balada  terdapat unsur: tokoh, watak , plot dan konflik. Unsur inilah yang membedakan balada dengan jenis yang lainnya.
WS Rendra banyak menulis puisi bentu balada, antara lain: Balada Terbunuhnya Atmokarpo, Balada Sumilah, Balada Orang-Orang Tercinta, Gugur, dll.
2.         Romance
Romance merupaka puisi bebas yang berisi curahan persaan kasi sayang, baik kasih sayang orang tua kepada anaknya, ataupun kasih sayang antara seorang anak manusia kepada lawan jenisnya.
3.         Himne
Himne adalah puisi yang berisi pujian kepada Tuhan yang Mahakuasa. Himne sering pula disebut puisi religius atau sajak ketuhanan.
4.         Ode
Ode adalah sajak atau puisi bebas yang berisi pujian, sanjungan, atau penghormatan terhadap seseorang, suatu bangsa atau  sesuatu yang dianggap mulia.
Contoh Teratai, kepada pattimura
5.         Elegi
Elegi adalah sajak atau puisi bebas yang berisi ungkapan ratapan kesedihan, duka nestapa yang menyayat hati. Elegi yang terkenal adalah “Elegi Jakarta’ karya Asrul Sani.
Contoh lain adalah: Kepada Orang Mati, Toto Sudarto Bachtiar; Ratap ibu, Selasih/ Seleguri; Batu Belah, Amir Hamzah; Mencari Kekasih, Yogi (A. Rivai).


6.         Satire
Satire adalah sajak yang berisi sindiran, kecaman, ejekan dengan kasar, tajam, sinis terhadap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.
7.         Puisi kontemporer
Dalam perkembangan sejarah puisi Indonesia dikenal adanya puisi kontemporer, yaitu puisi yang mementingkan kebebasan berekspresi yang sebebas-bebasnya. Puisi ini tidak tunduk dan patuh pada kaidah-kaidah yang berlaku pada puisi konvensional yang menggunakan bahasa/kata sebagai media pengungkap rasa, atau sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Puisi kontemporer memandang bahwa kata perlu dibebaskan perannya sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Kata-kata harus bebas menentukan nasibnya sendiri.
Pada  tanggal 30 Maret 1973, Sutardji Chalzoum Bachri memproklamirkan suatu pernyataan yang berkaitan dengan pandangannya tentang “perpuisian”, yang dikenal dengan “Kredo” puisi.
Macam-macam Puisi Kontemporer:
Puisi kontemporer dapat diklasifikasi menjadi beberapa bentuk (jenis) puisi, yaitu: puisi mantra, puisi mbeling dan puisi konkret.

Tugas mandiri Tak Terstruktur bagi Peserta Didik adalah:
1.      Pilihlah satu puisi  baru (modern ) yang tergolong terkenal
2.      Analisislah puisi pilihan Anda tersebut, dengan pembahasan:
a.        Identifikasilah komponen puisi yang terdapat dalam puisi pilihanmu tersebut!
b.      Identifikasilah cirri formal puisi tersebut!
c.       Simpulkan isi makna puisi pilihan Anda tersebut!
3.      Lengkapi analisis Anda dengan landasan teori yang memadai, tuliskan sumber kutipan Anda dengan jelas danbenar!