Minggu, 18 September 2011

PUISI ADALAH JENDELA HATI

Puisi termasuk salah satu bentuk sastra. Kehadiran sebuah puisi merupakan pernyataan seorang penyair. Pernyataan itu berisi pengalaman batinnya sebagai hasil proses kreatif terhadap objek seni. Objek seni ini berupa masalah-masalah kehidupan dan alam sekitar, ataupun segala kerahasiaan (misteri) di balik alam realitas, dunia metafisik. Segala bahan puisi yang ditimba penyair dari objek seni dibangunnya menjadi bangunan puisi yang utuh lewat proses kreatif. Lalu apa puisi itu? Puisi merupakan ekspresi pengalaman batin (jiwa) penyair mengenai kehidupan manusia, alam, dan Tuhan melalui media bahasa yang estetik yang secara padu dan utuh dipadatkan kata-katanya, dalam bentuk teks yang dinamakan puisi.
Lalu, benarkah pertanyaan bahwa ”Puisi merupakan jendela hati penyairnya”?
Sehubungan dengan proses terciptanya puisi sebagaimana diuraikan di atas, pernyataan tersebut  benar adanya. Lewat puisi kita dapat mengintip, melihat, atau bahkan mengenal lebih jauh apa, siapa , dan bagaimana penyairnya.  Mengenal apa, berarti memahami apa yang diungkapkan penyair lewat puisinya. Mengenal Siapa, berarti mengenali siapa penyairnya, kehidupannya, dan latar belakangnya. Dan mengenal bagaimana, maksudnya adalah mengenali bagaimana sikap pendirian, dan  bagaimana respon dan tindakan penyair menghadapi suatu permasalahan hidup sebagaimana  yang dituangkan dalam puisinya.
Hal ini didasarkan bahawa masalah kehidupan yang disuguhkan penyair dalam puisinya tentu saja bukan sekedar refleksi realitas (penafsiran kehidupan, rasa simpati kepada kemanusiaan, renungan mengenai penderitaan manusia dan alam sekitar) melainkan juga cenderung mengekspresikan hasil renungan penyair tentang dunia metafisik, gagasan-gagasan baru ataupun sesuatu yang belum terbayangkan dan terpikirkan oleh pembaca, sehingga puisi sering dianggap mengandung suatu misteri.
Di balik kata-katanya yang ekonomis, padat dan padu tersebut, puisi berisi potret kehidupan manusia, termasuk juga penyairnya. Puisi menyuguhkan persoalan-persoalan kehidupan manusia dan juga manusia dalam hubungannya dengan alam dan Tuhan, sang Pencipta.

PUISI MERUPAKAN KARYA MULTI INTERPERTABLE (BANYAK TAFSIR)

Puisi adalah karangan padat. Artinya, ia dibentuk oleh kata-kata yang benar-benar terpilih, terseleksi, atau melalui sensor yang ketat. Puisi itu menyatakan sesuatu secara tak langsung, yaitu mengatakan suatu hal dengan arti yang lain.
Ketaklangsungan ini disebabkan oleh tiga hal: displacing (penggantian arti), distorting (penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti). Sebagai contoh penggantian arti terwujud pada metafora dan metonimi, penyimpangan arti terjadi pada ambiguitas, kontradiksi dan nonsense, dan penciptaan arti terjadi pada pengorganisasian ruang teks, seperti persejajaran tempat (homologues), enjambnement, dan tipografi.
Ketaklangsungan teknik pengungkapan ini menyebabkan puisi menjadi  dunia kata-kata yang eksklusif  karena karakternya berbeda jika  dibandingkan dengan karakter kata dalam tulisan-tulisan yang lain. Padahal, kebanyakan dari kita menghabiskan waktu dalam kehidupan sehari-hari yang menuntut nilai komunikasi yang sifatnya (sangat) praktis, jelas, lugas, dan langsung. Hal inilah yang menyebabkan pembaca sering mengalami kesulitan ketika dia berhadapan dengan puisi. Fenomena kesulitan memahami puisi inilah yang  menyebabkan terjadinya banyak penafsiran makna puisi.
Sastrawan senior kita, Sapardi Djokodamono mengimbau penyair lainnya agar dengan ”Legawa” menyerahkan sepenuhnya puisi, karyanya kepada masyarakat luas untuk ”diapakan saja”. Mau ditafsirkan bagaimana, diapresiasi bagaimana, dan seterusnya.

Perhatikan puisi Sapardi berikut ini:
                      Kepada Sebuah Sajak 
                     (Karya Sapardi Djokodamono)

Dengan rendah hati kuserahkan kau ke dunia
sebab bukan lagi milikku. Tegaklah
bagai seorang lelaki yang lahir dalam zaman
yang riuh rendah
dan memberontak
kulepas kau ke tengah pusaran topan
dari masalah manusia, sebab telah dilahirkan
tanpa ayah dan ibu
dari jemariku yang papa
kaupun menjelma secara gaib wahai nurani alam
aku bukan asal-usulmu. Kutolakkan kepada dunia
nama baik serta nasibmu
aku tak lagi berurusan denganmu
sekali kau lahir lewat tangan-tanganku. Tegaklah
seperti lelaki yang tanpa ibu bapa
mempertahankan nasibnya sendiri
terhadap gergaji waktu

Puisi tersebut akan terasa lebih mudah ditangkap maknanya jika Anda menelusurinya lewat judul. Sang penyair ingin mengabari kepada kita tentang tentang sebuah puisi pasca ditulis oleh penyairnya. Penyair merasa tidak berhak lagi terhadap puisinya setelah puisi tersebut berada di tangan masyarakat.Masyarakatlah yang berhak berbuat apapun terhadap puisi itu, terutama dalam hal memberi makna. Puisi tersebut menjadi milik pembaca, mau diapakan saja boleh. Mau dimaknai apapun silakan, mau ditafsirkan sekehendak hatinya tidak salah, asal mempunyai dasar pijakan. Itulah makna puisi “Kepada Sebuah Sajak”
Dari penafsiran seperti itu kiranya dapat dirumuskan temanya, yaitu tidak seorang pun boleh merasa paling tepat memberi makna terhadap puisi (tak terkecuali penyairnya).
Amanat atau pesan yang dapat ditangkap adalah puisi hendaknya dianggap sebagai sebuah karya netral yang bebas diberi makna apa pun oleh pembacanya. Sudah barang tentu, kata bebas di sini berarti bebas dengan dasar yang tegas dan jelas.

BUTUHKAN SIKAP LEGAWA

Sejalan dengan himbauan maestro sastra kita, Sapardi Djokodamono di atas, pengarang (penyair) harus memiliki sifat yang rela (legawa ) jika puisinya diapresiasi (ditafsirkan) berbeda dengan apa yang diinginkannya. Jika penyair tidak memiliki sifat yang legawa ini, sebaiknya tidak menulis karya dalam bentuk puisi yang bahasanya padat, konotatif, figuratif.  Mungkin akan lebih baik menulis karya dalam bentuk prosa atau lainnya.
Sikap legawa ini memang membutuhkan proses. Pada awalnya, wajar jika kita marah, kebakaran jenggot, atau bahkan sumpah serapah ketika dinilai buruk oleh orang lain, pascapembacaan puisi kita. Namun, seiring dengan keluasan cakrawala pandang kita tentang dunia puisi (yang memang eksklusif ini), sikap legawa tersebut akan tumbuh dengan sendirinya.
Pengalaman menarik yang pernah penulis hadapi, yaitu ketika  berhadapan dengan peserta didik yang sebenarnya justru menaruh perhatian besar pada dunia puisi. Peserta didik tersebut bertanya kepada ibunya, yang nota bene juga seorang guru Bahasa Indonesia.
” Bu, apakah Pak Dhimas itu bukan orang baik-baik?”
”Hus, kamu kok gitu terhadap Pak guru. Mengapa kamu tanya begitu?” tanya ibunya.
” Itu lho, Bu di dalam puisinya itu tersirat bahwa Pak Dhimas itu orangnya  arogan, brutal, urakan, play boy, pezina.”  Coba baca puisi Pak Dhimas ini!

IZINKAN AKU KEMBALI           (Dhimas, 2000)
Dengan apa lagi kubakar tumpukan dosa
Mengerak menyesak dada, bila
Wirid yang kuuntai siang malam
Tiada mampu hanguskan noda
Tuk Kau trima menghadap-Mu

Dengan apa lagi harus kutebus
Kilaf nafsu jalangku, bila
Tobat yang kuikrar di setiap kubah-Mu
Tiada mampu redampadamkan nafsu zakar
Tuk tunduk luruh penuh patuh di kaki-Mu

Wahai Dzat Yang Maha Mulia, Azza wa Jalla
Jangan Kau hinakan aku lagi
Kau depak ke lorong jahanam-Mu
Yang peneuh nanah busuk
Dan api membara

Gusti Maha suci, izinkzn aku kembali
Menapaki jalan lurus-Mu
Sambil kurajut lagi cinta kasih-Mu
Yang kini koyak moyak
Hilang bentuk

Gusti ...ramadhan ini, izinkan aku kembali
Bangun seribu kubah di hati
Bersihkan jiwa, haluskan kalbu
Raih mutaqin sejati
Tuk jadi pewaris Firdaus-Mu

Setelah ibunya turut mengeja kata demi kata, puisi di atas, akhirnya ia berkata,
“ Oh…, ini to. Ini kan puisi”
“Tapi isinya kok begitu, Bu?”
“ Sepanjang yang saya tahu, setiap kata-katanya romantis, terkesan seorang perayu,  dia juga humoris, tetapi dia juga religious tuh”, jawab ibunya.
“Terus bagaimana saya menafsirkan isi puisi ini…?”
“Ya…, itulah puisi. Penuh misteri”, jawab ibunya.  “Tetapi Rasulullah pernah bersabda bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang segera bertobat ketika bersalah. Sebaik-baik orang adalah orang yang mampu melihat kesalahan dirinya sendiri. Dan Bulan Ramadhan memang  bulan penuh berkah, Rahmah, dan Magfirah. Di bulan Ramadhan itu, Orang shaleh biasanya begitu dekatnya dengan Tuhan, sehingga sering kali  kesalahan yang kecil sekali pun terasa amat besar, dan berat.

Bagaimana tanggapan dan apresiasi Anda ?
Sependapatkah engkau dengan peserta didik di atas? Untuk itu, baca, pahami, dan renungkan puisi tersebut. Selanjutnya, berilah tanggapan dan apresiasi atas puisi Izinkan Aku Kembali tersebut!
Bebas, sebebas-bebasnya, bukan bebas bersyarat. OK ...? Terima kasih....